Bandung, Eunofa – Film pendek Dor Dor Dor lahir dari tangan kreatif mahasiswa Film dan Televisi UPI angkatan 2023. Disutradarai oleh Muhammad Yoga Iswara Darmawan, dengan Dimas Nazril sebagai penulis sekaligus production designer, film ini mengusung genre aksi-komedi yang kocak sekaligus penuh ketegangan.
Cerita berpusat pada empat karakter bayaran dengan kepribadian unik. Ada Ito (diperankan oleh Tubagus Ahmad Zain), pemuda yang selalu sial karena pilek, Reza (Muhammad Ghifari Hakim), mentor sok bijak, Hendra (Arman Arya), “samurai berdarah Sunda” dengan gaya khasnya, dan Anton (Muhammad Guntur Alfarisyi), bajingan tangguh yang jadi ujung tombak kelompok.
Keempatnya biasa menjalankan misi untuk bos mereka, Pak Angga. Namun masalah muncul ketika Naomi—putri Pak Angga yang juga seorang idol, diperankan oleh Dino dari idol group Lunite—diculik oleh penggemar fanatik. Alih-alih jadi misi penyelamatan yang mulus, kesalahan fatal justru membawa keempat tokoh ini pada akhir yang tragis.
Salah satu alasan kenapa saya suka Dor Dor Dor adalah karena film ini tidak berusaha terlihat terlalu serius. Justru di situlah letak daya tariknya. Sang sutradara, Muhammad Yoga Iswara Darmawan, mengaku membuat film ini semata-mata ingin membuktikan bahwa ia bisa menciptakan film yang “keren” dan layak ditonton, meski hanya digarap oleh tim inti yang kecil. Alih-alih membebani film dengan pesan moral atau makna mendalam, Yoga memilih untuk fokus menghadirkan aksi yang seru sekaligus konyol, sehingga mudah dinikmati siapa saja.
Menariknya, ia juga terang-terangan bilang bahwa Dor Dor Dor tidak punya makna tertentu—dan kalaupun ada penonton yang menemukan pesan di balik ceritanya, itu hanyalah kebetulan. Inspirasi gaya visualnya sendiri banyak datang dari film-film Quentin Tarantino, yang terkenal dengan perpaduan aksi penuh darah, humor gelap, dan estetika yang khas. Tak heran kalau Dor Dor Dor terasa seperti parodi penuh gaya: menyenangkan, ringan, tapi tetap punya pesona visual yang menempel di kepala.
Meski sang sutradara bersikeras mengatakan bahwa Dor Dor Dor “tidak punya makna,” pandangan itu sebenarnya bisa diperdebatkan. Dalam teori seni, ada konsep yang disebut “Kematian Pengarang” (Death of the Author), yang pertama kali dikenalkan oleh Roland Barthes. Teori ini berangkat dari gagasan bahwa begitu sebuah karya dipublikasikan, niat atau maksud sang kreator tidak lagi relevan. Makna sebuah karya justru lahir dari pembacaan audiens yang beragam.
Artinya, bahkan ketika sebuah film dibilang “tidak bermakna,” penonton tetap bisa menemukan tafsirnya sendiri. Contohnya, dalam artikel yang ditulis oleh FPSD UPI, Dor Dor Dor justru dinilai sarat dengan nilai budaya Nusantara, meskipun dibalut dengan gaya visual yang lebih global. Ini menunjukkan bahwa makna tidak bisa sepenuhnya dikendalikan oleh sutradara, karena audiens akan selalu membawa perspektif mereka masing-masing.

Contoh menarik lain bisa dilihat dari pilihan sutradara untuk menampilkan sebagian besar adegan Dor Dor Dor dalam format hitam-putih. Dari sisi penceritaan, keputusan ini bisa dipahami sebagai penanda flashback. Karena alur film memang meloncat-loncat secara timeline, hitam-putih memberi kesan bahwa cerita yang sedang berlangsung adalah bagian dari ingatan Reza ketika ia menceritakan kembali misi yang dijalani kelompoknya. Dengan begitu, warna—atau tepatnya ketiadaan warna—jadi semacam kode visual yang menandai perbedaan babak dalam narasi.
Tapi, kalau ditanya langsung ke tim produksi, alasannya justru jauh lebih sederhana. Yoga menjelaskan bahwa pilihan hitam-putih dibuat karena alasan teknis: lebih mudah di-color grading, pencahayaan di set lebih gampang diatur, dan kontinuitas visual tidak terlalu rumit.
Menariknya, keputusan yang lahir dari pertimbangan praktis ini justru membuka ruang tafsir yang lebih luas. Sesuatu yang awalnya dipilih demi “convenience” teknis, pada akhirnya bisa dimaknai penonton sebagai bagian dari gaya penceritaan film itu sendiri.
Jadi, di titik ini Dor Dor Dor membuktikan bahwa klaim “film tanpa makna” tidak benar-benar berlaku. Begitu film lahir ke publik, ia hidup dengan makna-maknanya sendiri—makna yang kadang tidak pernah disadari, apalagi diniatkan, oleh si pembuatnya.
Pertanyaannya kemudian: apakah setiap film memang harus selalu dicari maknanya? Atau justru kita bisa menikmatinya apa adanya, sebagai tontonan yang menghibur?
Banyak orang tentu akan menjawab iya. Misalnya, artikel dari Universitas Airlangga menyebut bahwa film punya kekuatan besar: bisa mengubah cara pandang, membangkitkan empati, menginspirasi perubahan, bahkan menggugah tindakan sosial. Dari sudut pandang ini, film seolah wajib membawa pesan.
Tapi kenyataannya, tidak semua audiens menonton film untuk mencari pesan moral atau gagasan besar. Sebagian besar orang hanya ingin terhibur. Justru itulah yang sering hilang dari banyak film masa kini: rasa fun ketika menonton.
Dor Dor Dor hadir untuk mengembalikan kesenangan sederhana itu. Yoga dan Dimas sendiri menegaskan bahwa mereka membuat film ini karena keinginan pribadi, bukan demi menyelipkan agenda tertentu. Yoga bahkan bilang, tidak semua film harus punya pesan; kalaupun penonton menemukan makna dari Dor Dor Dor, itu hanyalah bonus.
Motivasi yang sederhana—sekadar ingin bikin film yang keren, seru, dan menghibur—ternyata justru jadi daya tarik utama. Dor Dor Dor berhasil memikat banyak penonton, sampai akhirnya mendapat kesempatan untuk diputar di festival film Jerman, Filmfest Braunschweig. Capaian ini terasa manis, mengingat di awal produksinya banyak yang meremehkan ide ceritanya.
Pada akhirnya, Dor Dor Dor membuktikan bahwa film tidak selalu harus datang dengan beban pesan moral atau makna yang berat. Kadang, justru film yang lahir dari keisengan, keberanian, dan semangat untuk bersenang-senanglah yang terasa paling jujur sekaligus menghibur.
Film adalah ekspresi pribadi setiap pencipta. Apakah pembuatan film harus selalu dilandasi alasan besar? Tentu tidak. Benar, film punya kekuatan untuk menyampaikan pesan dan bahkan mengubah cara pandang seseorang. Tapi di atas semua itu, sutradara seharusnya tidak melupakan alasan paling sederhana: membuat film karena keinginan dan cinta pada cerita.
Mungkin inilah yang perlu kita ingat bersama: mengembalikan fun dalam film. Karena jika hanya mengejar makna besar, kita bisa kehilangan hal paling mendasar dari menonton—rasa senang. Dan di tengah dunia perfilman yang kadang terasa terlalu serius, Dor Dor Dor hadir sebagai pengingat bahwa keseruan pun bisa jadi sebuah kekuatan.
Penulis : Sabrina Putri Dewi
Source : FPSD UPI, University of Wollongong Australia, Universitas Airlangga, Interview pribadi dengan Muhammad Yoga Iswara