Pandangan Male Gaze dalam Film Wati

Written by: Kajian 2023

Bandung, Eunofa – Film yang disutradarai oleh Akeyla Nadziratul Mahira serta dibantu beberapa crew dibuat sebagai salah satu tugas film fiksi di semester 4. Film berjudul Wati menceritakan tentang seorang istri, dalam segala kondisi akan melakukan apa saja untuk mempertahankan rumah tangganya. Terkadang ia memiliki caranya tersendiri untuk mendapatkan kasih sayang dari pasangannya, walau sampai tidak mempedulikan diri sendiri.

Menurut saya, film ini cukup menarik untuk dikritisi karena film tersebut mengambil sudut pandang audiens & spektator. Pandangan yang paling mudah diambil adalah pandangan “male gaze” sebagai gambaran bagaimana budaya patriarki tercermin dalam media visual, dengan menempatkan laki-laki sebagai subjek yang berkuasa dan perempuan sebagai objek yang dilihat, dinikmati, atau dikendalikan. 

  1. Male Gaze 

Menurut Laura Mulvey, male gaze adalah cara pandang dalam film dan media visual lain yang cenderung mengikuti perspektif laki-laki heteroseksual. Dalam cara pandang ini, perempuan biasanya digambarkan bukan sebagai sosok yang aktif, melainkan lebih sering dijadikan objek pandangan. Kamera dan sudut pengambilan gambar pun sering diarahkan seakan-akan mewakili tatapan laki-laki misalnya dengan menyorot tubuh perempuan untuk menimbulkan kesan sensual. Akibatnya, laki-laki ditempatkan sebagai pihak yang aktif dan memiliki kontrol dalam cerita, sementara perempuan sering hanya hadir untuk dilihat dan memberi “kesenangan visual.” Konsep ini menunjukkan bagaimana budaya patriarki memengaruhi cara film menampilkan gender. 

Dalam konteks film “WATI: What Affection Really Is?” cara pandang male gaze berhasil digambarkan secara eksplisit melalui berbagai adegan, baik secara langsung maupun tersirat. Adapun male gaze yang digambarkan secara langsung, terdapat pada karakter Rannia yang sedang memakai baju dimana movement camera yang menunjukkan sebagian tubuh perempuan yang tentunya dapat memicu gairah seksual pada laki-laki, hal ini disebabkan karena laki-laki cenderung lebih menyukai stimulus visual seperti dalam  bentuk pornografi maupun pakaian minim (Hasyim dkk, 2018). Lalu pada karakter Wati pada post credit scenes dirinya terlihat sedang dalam kondisi telanjang terbaring diatas ranjang sedang melakukan hubungan seksual. Sedangkan male gaze yang digambarkan secara tesirat, juga terdapat pada karakter Rannia dalam adegan keluar kamar dan melihat ayah serta adegan Rannia mendekati ibunya yang sedang membersihkan toilet, serta pada karakter ayah yang melihat Rannia seolah memiliki ketertarikan yang menyimpang perilaku tersebut kemungkinan membuat Rannia semakin merasa tidak nyaman dan segera menemui Wati (ibu).

  1. Body Genres

Selain itu juga ada yang dinamakan sebagai body genres. Menurut Linda Williams, body genres adalah jenis film yang sengaja dibuat untuk memancing reaksi tubuh penontonnya. Jadi tidak hanya membuat kita berpikir atau merasakan emosi, tapi benar-benar membuat tubuh ikut bereaksi. 

Seperti dalam film Wati yang menyoroti hal seperti body genres di beberapa scene menjadi adegan-adegan yang berhasil membuat penonton ikut merasakan emosi atau membuat tubuh ikut bereaksi, seperti adegan saat wanita berpakaian, adegan suami istri, dan sebagainya. 

  1. Feminisme Post-modern

Pandangan male gaze juga mencakup feminisme post-modern. Menurut Tania Modleski, feminisme post-modern melihat bahwa identitas perempuan tidak bisa dipukul rata. Perempuan punya pengalaman yang beragam, berubah-ubah, dan tidak selalu sesuai dengan gambaran tunggal yang sering dipakai teori feminis sebelumnya. Ia juga menekankan bahwa perempuan tidak melulu pasif sebagai objek pandangan laki-laki, tapi bisa aktif menonton, menafsirkan, bahkan melawan representasi yang mengekang.

Sementara itu, Cynthia Freeland menyoroti bahwa feminisme postmodern menolak narasi besar tentang “perempuan” dan lebih menekankan pada keberagaman serta kontradiksi pengalaman mereka. Dalam seni dan film, perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai korban patriarki, tetapi juga punya ruang untuk menunjukkan agensi, ironi, dan permainan makna.

Dalam konteks film “WATI: What Affection Really Is?” feminisme post-modern tergambar jelas dalam karakter Rannia sebagai sosok yang memiliki gagasan, peka terhadap kondisi dan vokal dalam menyuarakan kebenaran. Dalam adegan yang berlokasi pasar Rannia mengusulkan untuk meningkatkan harga jual kue nagasari alih-alih memangkas jumlah produksi dikarenakan kenaikan harga salah satu bahan baku, pada lokasi yang sama dengan adegan berbeda Rannia mempertanyakan ibunya  (Wati) mengapa dirinya tidak ditemani ayah dalam mengantar dagangan, hal ini juga memungkinkan adanya indikasi bahwa si ayah adalah pengangguran. Kepekaan Rannia terhadap kondisi keluarga juga diperlihatkan disaat Rannia mengambil uang dalam toples dimana Rannia menukarkan nominal uang Rp.50.000.00 dengan Rp.20.000.00. Dalam adegan setelah pulang dari “bermain” kita diberikan fakta bahwa Rannia diam-diam mengambil pekerjaan tambahan untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, menunjukkan dirinya bukanlah alat yang hanya bisa disuruh dan harus tetap diam dalam situasi apapun, adegan tersebut memberikan makna tersirat bahwa Rannia juga dapat berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat dengan caranya sendiri. Tidak hanya sampai disitu, pada adegan berikutnya Rannia yang sudah muak dengan ayahnya, kemudian menyuarakan isi hatinya dan mempertanyakan perilaku si ayah yang sama sekali tidak memenuhi kewajibannya sebagai tulang punggung keluarga melainkan hanya menjadi sosok yang memberikan beban dengan menjadi perokok aktif dan pecandu judi online.

Seperti contoh dalam beberapa scene berikut:

Wati | Foto: Sosial media film Wati
Wati | Foto: Sosial media film Wati

Seolah menyiratkan bahwa Rannia memiliki “pekerjaan” selain penjual kue nagasari dan hendak pergi keluar, kemungkinan latar waktu menunjukkan malam hari.

Wati | Foto: Sosial media film Wati
Wati | Foto: Sosial media film Wati

Sosok ayah yg sepertinya tertarik kepada putrinya secara seksual yang mengindikasikan adanya kelainan seksual incest, dan jendela yang memperlihatkan bahwa hari mulai menjelang malam memperkuat dugaan pada scene 1

Wati | Foto: Sosial media film Wati
Wati | Foto: Sosial media film Wati

Penguatan scene 1 dimana visual memperlihatkan Rannia yang memakai celana pendek. Mengapa hal ini bisa memperkuat adegan scene 1? dikarenakan pandangan penonton yang berpikir bahwa perempuan yang memakai pakaian minim keluar rumah pada malam hari berkemungkinan berprofesi sebagai PSK.

Wati | Foto: Sosial media film Wati
Wati | Foto: Sosial media film Wati

Thirst bait, adegan yang menggugah gairah seksual penonton laki-laki. Selain hal ini berfokus pada body genres, adegan ini juga diperkuat dengan pergerakan kamera dari bawah ke atas untuk memperlihatkan tubuh perempuan dan membuatnya menjadi adegan explicit

Wati | Foto: Sosial media film Wati
Wati | Foto: Sosial media film Wati

Menunjukkan dimana sosok ibu menyesal telah membunuh sang anak, akan tetapi dia terlihat kembali bahagia karena tak ada sosok lain yg akan mengancam kehidupan seksualnya dengan suami. 

Wati | Foto: Sosial media film Wati
Wati | Foto: Sosial media film Wati

Terbukti bahwa rannia memiliki pekerjaan sebagai PSK untuk mencukupi keuangan rumah dan si ayah memiliki orientasi seksual yang menyimpang (incest) dengan mencoba melakukan rudapaksa pada sang anak.

Wati | Foto: Sosial media film Wati
Wati | Foto: Sosial media film Wati

Perilaku obsesif istri, terbukti dalam dialog yang terdapat pada adegan ini yang mana Wati sebenarnya mengeluh akan kesulitannya dalam mengelola rumah yang terlalu besar untuk mereka bertiga, seperti ekonomi dan pekerjaan rumah. Akan tetapi Wati tetap bertahan karena obsesinya terhadap sang suami, dibuktikan oleh dialog pertanyaan sang suami sendiri. 

Wati | Foto: Sosial media film Wati
Wati | Foto: Sosial media film Wati

Rannia memberikan pendapatnya, dikarenakan bahan baku yang semakin mahal, alih-alih menurunkan jumlah produksi, dirinya mengajukan untuk menaikan harga jual.

Wati | Foto: Sosial media film Wati
Wati | Foto: Sosial media film Wati

Rannia mempertanyakan kenapa ibunya (Wati) tidak mengantarkan pesanan bersama ayahnya, pada adegan ini terdapat kemungkinan bahwa ayah Rannia mungkin terindikasi sebagai pengangguran. Dalam adegan ini juga Rannia digambarkan sebagai sosok wanita yang mempertanyakan peran dan fungsi sosok ayah.

Wati | Foto: Sosial media film Wati
Wati | Foto: Sosial media film Wati

Rannia sadar dengan kondisi ekonomi keluarga, terlihat dari dirinya yang mengganti nominal uang dengan yang lebih kecil demi kebutuhan keluarga.

Wati | Foto: Sosial media film Wati
Wati | Foto: Sosial media film Wati

Rannia yang baru saja pulang dari pekerjaannya sebagai PSK, menyiratkan bahwa dirinya tidak hanya seorang wanita yang hanya bisa dipandang sebagai alat, melainkan sosok wanita yang mampu menghasilkan uangnya sendiri, terlepas benar atau salahnya pekerjaan tersebut.

Wati | Foto: Sosial media film Wati
Wati | Foto: Sosial media film Wati

Rannia yang sudah muak dengan ayahnya, akhirnya mengeluarkan seluruh isi hatinya serta mempertanyakan perilaku ayahnya yang tidak menjalankan obligasinya. .

Jadi, Film Wati menampilkan pandangan male gaze melalui penggambaran perempuan sebagai objek visual dan pemicu reaksi fisik penonton (body genres). Adegan-adegan seperti pakaian terbuka, interaksi seksual, dan sudut kamera tertentu menekankan dominasi laki-laki dan budaya patriarki dalam media.

Di sisi lain, perspektif feminisme post-modern terlihat dari kompleksitas karakter perempuan seperti Wati dan Rannia, yang menunjukkan kemampuan untuk bertindak, menafsirkan, dan menentang representasi yang mengekang. Film ini menyoroti keberagaman pengalaman perempuan, termasuk dalam kehidupan rumah tangga, pekerjaan, dan relasi sosial. Secara keseluruhan, Wati menjadi karya yang relevan untuk menganalisis hubungan antara patriarki, male gaze, body genres, dan feminisme post-modern, sekaligus mendorong penonton untuk berpikir kritis tentang representasi gender dalam film.

Refleksi pribadi setiap orang yang menonton film Wati memberikan pengalaman yang mendorong pemikiran kritis tentang peran dan posisi gender dalam masyarakat. Film ini menegaskan bagaimana budaya patriarki sering menempatkan perempuan sebagai sosok yang pasif, harus menyesuaikan diri dengan kehendak laki-laki, termasuk dalam ranah rumah tangga. Adegan-adegan yang menonjolkan male gaze menyadarkan bahwa media visual memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi kita terhadap perempuan.

Namun, karakter Wati dan Rannia menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki kekuatan, pilihan, dan kemampuan untuk menafsirkan serta menentang batasan yang ada. Bagi penonton, film ini menekankan bahwa pengalaman perempuan bersifat beragam dan kompleks, serta penting untuk melihat perempuan bukan hanya sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek yang memiliki agensi.

Secara pribadi, Wati membuat saya lebih peka terhadap representasi gender dalam film dan media, sekaligus menumbuhkan kesadaran bahwa kritik terhadap patriarki relevan tidak hanya secara teoretis, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis : Zalfa Mardhiyah Khairunnisa

Source : FPSD UPI

Share This Article