Bandung, Eunofa – Saat layar menampilkan sebuah perahu kecil yang menuju pulau Summerisle, atmosfer yang terpancar seolah lebih dari sekadar “tempat” melainkan sebuah mikrokosmos yang tertata dengan cermat: praktik ritual, melodi lagu rakyat, busana berwarna cerah, dan senyuman penduduk yang terlihat ramah tetapi… ada yang tidak beres. The Wicker Man (1973), yang diarahkan oleh Robin Hardy dan ditulis oleh Anthony Shaffer, lebih dari sekadar film horor biasa. Ini adalah sebuah karya yang menunjukkan bahwa sutradara bisa berperan sebagai “penulis” utama film melalui gaya, pilihan estetika, dan metode dalam memanipulasi narasi seperti yang diungkapkan dalam teori auteur.

Dalam kajian ini, kita menilai The Wicker Man sebagai hasil karya seorang auteur: bagaimana simbol yang berulang, tema yang menjadi preferensi, dan teknik sinematik khas dari sutradara membentuk pengalaman menonton. Pendekatannya merujuk pada pemikiran Peter Wollen yang menekankan auteur bukan hanya sebagai “nama” dala kredit, tetapi sebagai penggali makna yang tersirat dalam teks film melalui simbol visual dan gaya. Kita juga akan menyentuh ide-ide Sarris, Barthes, dan Scacht untuk memetakan posisi Hardy dalam ranah estetika film.
Sutradara sebagai pencipta dunia: jejak Hardy
Pertama-tama, apa yang bisa dianggap “milik Hardy”? Dalam The Wicker Man, terdapat beberapa elemen khas yang menciptakan sejenis tanda tangan: penggunaan musik tradisional untuk mendorong cerita, pemanfaatan pemandangan pedesaan sebagai latar yang menandu antara keindahan dan ancaman, serta posisi protagonist Sergt. Howie sebagai sosok yang rasional dan religius namun lambat laun kehilangan keyakinannya. Hardy tidak hanya mengarahkan adegan: ia menciptakan atmosfir. Musik dan lagu desa yang dimainkan di momen-momen bahagia berfungsi sebagai kontras terhadap kengerian yang mendekat. Pilihan itu terasa disengaja: ketakutan muncul di siang hari, bukannya dalam kegelapan malam.
Di sinilah pentingnya teori auteur: menurut Sarris, auteur adalah seorang sutradara yang selalu menghadirkan tema dan gaya yang sama sehingga film-filmnya terdengar memiliki satu suara. Hardy, meskipun jumlah film yang dihasilkannya terbatas, menunjukkan suara yang kuat kecenderungan terhadap ritual, cerita rakyat, dan ketegangan antara iman modern dengan tradisi yang membuat The Wicker Man menjadi karya yang terasa sangat pribadi dan tidak bisa disederhanakan menjadi sekadar “cerita detektif ditambah horor”.
Peter Wollen: Menginterpretasikan Tanda dan Kode Auteur
Peter Wollen menambahkan sebuah perspektif penting: mempersepsi film sebagai teks semiotik yang dipenuhi dengan kode. Dalam pandangan Wollen, kita menginterpretasikan motif visual dan simbol yang ditampilkan oleh Hardy sebagai suatu “bahasa” yang membimbing kita dalam pemahaman. Sebagai contoh: tarian massal penduduk di festival panen kamera tidak hanya fokus pada tindakan, tetapi juga menangkap jarak, ritme, dan pengulangan yang membuat audiens merasakan keterasingan Howie. Wollen mendorong kita untuk bertanya: simbol apa yang berulang? Apa artinya ketika pemandangan pedesaan ditampilkan dengan cara yang justru mengakibatkan rasa klaustrofobia?

Hardy menerapkan pengulangan simbol (topeng, api, nyanyian) untuk membangun makna ideologis: adegan-adegan yang terlihat folklorik sebenarnya menghubungkan logika komunitas dengan nilai yang berbeda. Wollen membantu kita untuk “membaca” bahwa tanda-tanda tersebut bukanlah sekadar dekorasi, melainkan sebuah pernyataan dari sutradara mengenai pertentangan antara keyakinan dan keperluan kolektif.
Barthes, Schatz, dan Kekuasaan Narasi
Roland Barthes pernah mengemukakan tentang “kematian pengarang”—konsep bahwa arti dari sebuah teks tidak sepenuhnya ditentukan oleh maksud penciptanya. Ini berguna untuk membatasi kita dari klaim yang absolut: meskipun Hardy memberikan ciri khasnya, makna film dapat bervariasi tergantung kepada siapa yang menontonnya. Schatz menambahkan sudut pandang mengenai genre: The Wicker Man menempatkan dirinya dalam kategori “folk horror” yang memanfaatkan mitos dan ritual sebagai elemen kunci. Hardy, sebagai seorang auteur, tidak hanya mengulang tema: ia juga merumuskan ulang genre dengan cara yang unik—menggabungkan musik yang ceria dengan akhir yang tragis, sehingga horor muncul dari ketidakcocokan nada.

Dengan kombinasi tersebut, kita memperoleh gambaran pola: Hardy tidak hanya menyampaikan cerita, tetapi juga memanfaatkan struktur genre untuk menempatkan penonton dalam posisi moral yang tidak nyaman.
Teknik Spesifik: Kamera, Musik, dan Ritme Narasi
Mari kita lihat contoh yang lebih konkret. Perhatikan adegan penyambutan Howie di desa: pengambilan gambar sering kali menempatkan Howie di tengah kerumunan, tetapi kamera juga cenderung menjaga jarak, menciptakan kesan bahwa Howie adalah seorang pengamat yang terasing. Teknik ini semakin menguatkan rasa keterasingannya. Musik tradisional yang muncul bukan hanya sebagai latar belakang ia hadir secara diegetic (penduduk menyanyi), sehingga penonton terlibat dalam ritus tersebut. Penyuntingan berlangsung lambat pada momen-momen krusial—berbeda dengan potongan cepat seperti montase Eisenstein, ritme ini secara sengaja memperpanjang ketegangan hingga mencapai klimaks.

Dengan kombinasi tersebut, kita memperoleh gambaran pola: Hardy tidak hanya menyampaikan cerita, tetapi juga memanfaatkan struktur genre untuk menempatkan penonton dalam posisi moral yang tidak nyaman.
Teknik Spesifik: Kamera, Musik, dan Ritme Narasi
Mari kita lihat contoh yang lebih konkret. Perhatikan adegan penyambutan Howie di desa: pengambilan gambar sering kali menempatkan Howie di tengah kerumunan, tetapi kamera juga cenderung menjaga jarak, menciptakan kesan bahwa Howie adalah seorang pengamat yang terasing. Teknik ini semakin menguatkan rasa keterasingannya. Musik tradisional yang muncul bukan hanya sebagai latar belakang ia hadir secara diegetic (penduduk menyanyi), sehingga penonton terlibat dalam ritus tersebut. Penyuntingan berlangsung lambat pada momen-momen krusial—berbeda dengan potongan cepat seperti montase Eisenstein, ritme ini secara sengaja memperpanjang ketegangan hingga mencapai klimaks.
Klimaks pembakaran patung Wicker merupakan puncak dari desain auteur Hardy: pengambilan panjang dari api, reaksi penduduk, dan ekspresi tidak berdaya dari Howie. Tidak ada kejutan mendadak; yang ada adalah penekanan pada ritualisasi sutradara memaksa penonton untuk menyaksikan proses, bukan hanya hasil akhir. Ini adalah pilihan dari seorang auteur: memilih untuk memperlambat, memilih ambiguitas moral, memilih ketidaknyamanan yang memihak kepada estetika ketidakpastian. Kesimpulan: Apa yang membuat Hardy sebagai “penggagas teror”?
Keistimewaan The Wicker Man tidak hanya terletak pada judulnya yang menyeramkan, melainkan juga pada cara Robin Hardy merancang setiap elemen untuk saling mendukung: melodi yang memikat, pemandangan yang menawan, ritual yang katarsis, dan karakter utama yang mencerminkan diri kita individu modern yang rentan dalam menghadapi tradisi kolektif. Dari perspektif sutradara, Hardy berhasil menciptakan sebuah gaya sinematik yang khas: perpaduan antara folklor, ironi, dan kekerasan ritual yang membuat film ini tetap relevan sebagai acuan dalam genre folk horror.
Jika kita mengacu pada pemikiran Peter Wollen, film ini dapat dianalisis sebagai sebuah teks yang menggabungkan “narasi primer” (cerita detektif yang logis) dan “narasi sekunder” (subteks ideologis mengenai konflik antara agama, seksualitas, dan kekuasaan masyarakat). Dengan sengaja, Hardy mengatur keduanya agar penonton dapat menelusuri lapisan demi lapisan bukan hanya mengikuti alur cerita, tetapi juga mempertanyakan: siapa yang benar-benar berada di pihak yang benar?
Dalam konteks teori auteur yang dipaparkan Sarris, Hardy layak dikategorikan sebagai sutradara yang memberikan “visi pribadi” yang mencolok. Walaupun karya filmnya terbatas, The Wicker Man menjadi contoh bahwa satu film bisa sangat berpengaruh untuk menegaskan eksistensi seorang auteur jika kinerja estetis dan tematiknya terjaga dengan baik.
Refleksi pribadi: Mengapa film ini masih relevan?
Bagi audiens masa kini, The Wicker Man berfungsi sebagai cermin—bukan hanya sebagai cermin horor, melainkan juga sebagai cermin sosial. Di waktu di mana identitas kolektif dan klaim kebenaran sering kali bertentangan, film ini mengingatkan kita bahwa ritual dan kepercayaan dapat berfungsi sebagai sarana pembebasan sekaligus penindasan. Hardy tidak memberikan jawaban pasti; dia menyajikan tatanan— memberikan kesadaran bahwa “obyektivitas” Howie hanyalah salah satu perspektif.
Di sinilah letak nilai lebih film ini: dia membuka ruang untuk berdiskusi Apakah kita merasa kasihan pada Howie yang meninggal sebagai martir, atau pada penduduk Summerisle yang menganggap pengorbanan sebagai siklus kehidupan? Penonton saat ini mungkin memiliki pendapat yang berbeda, dan ini menjadikan film tetap relevan dalam diskusi budaya populer.
Lebih jauh, film ini mengajarkan tentang peran sutradara sebagai auteur: seorang pencipta dunia yang bukan hanya menyampaikan cerita, tetapi juga membangun suasana, simbol, dan konflik yang mendorong penonton untuk berpikir. Di tengah lanskap film horor modern yang sering kali dipenuhi dengan jump scare dan efek CGI, The Wicker Man tampil sebagai karya yang berani memaksa kita untuk melihat lebih dalam, mendengarkan lagu rakyat hingga akhir, dan tidak memberikan kesempatan untuk melarikan diri.
Sebagai mahasiswa film, saya melihat bahwa Hardy mengajarkan satu pelajaran penting: horor yang paling mengena bukanlah ketika kita menutup mata, tetapi saat kita dipaksa untuk menyaksikan. Itulah daya tarik seorang auteur dia memiliki kontrol penuh atas pengalaman emosional kita. Dan mungkin, itulah alasan mengapa The Wicker Man tetap menjadi salah satu film yang paling banyak dibicarakan dalam sejarah folk horror: bukan hanya karena akhir yang mengejutkan, melainkan karena Hardy mampu menorehkan tanda tangan artistiknya yang membuat kita seakan membaca pikiran sutradara.
Penulis : Zhafran Dafy Al Fata