Bandung, Eunofa – Star Fall in Me lahir dari tugas akhir Studio Film mahasiswa semester 4 Program Studi Film dan Televisi Universitas Pendidikan Indonesia. Durasi film ini cukup berani untuk ukuran tugas kuliah: 37 menit 37 detik, lengkap dengan opening dan credit title, menjadikannya yang paling panjang di antara film-film seangkatannya. Genre drama-musikal yang diusung terasa segar, apalagi dua lagu orisinal di dalamnya ditulis dan diaransemen sendiri oleh kru— sebuah capaian yang menunjukkan keseriusan mereka. Film pertama kali ditayangkan dalam acara screening “FRAME”, forum pemutaran karya fiksi mahasiswa yang juga membuka ruang diskusi antara penonton, dosen, dan kru. Malam itu, tepuk tangan panjang dan beberapa penonton yang diam-diam menyeka air mata menjadi bukti bahwa film ini berhasil menyentuh audiensnya.
Kru utama Star Fall in Me terdiri dari Hamka Mahardika sebagai sutradara, Arini Melvilianti sebagai penulis naskah dan asisten sutradara 1, Rinaldy Faiz M. Haris sebagai director of photography, Khayra Amalia Putri sebagai production designer, dan Zovie Radithya sebagai produser. Sementara di lapangan, kamera kerap bergerak dengan handheld dan tracking shot yang mengikuti karakter, sering dalam long take yang cukup menguras energi tim kamera. Warna gambar didominasi tone hangat, memperkuat kesan intim. Scoring dan tata suara berhasil menopang emosi, terutama pada momen-momen menyentuh dan reflektif.
Cerita berpusat pada Hana, perempuan 23 tahun yang baru lulus kuliah dan pindah ke Bandung setelah kepergian ibunya. Ia bergabung ke dalam band sepupunya, Arum, yang bermain bass, serta dua teman baru: Faza sebagai gitaris dan Dhika sebagai drummer. Ayah Hana digambarkan sebagai sosok yang lembut dan suportif, berusaha menggantikan peran mendiang istri sekaligus menjaga hubungan dengan putrinya. Di balik itu, Hana digerakkan oleh ambisi untuk melanjutkan impian sang ibu menjadi musisi. Namun, semangat itu sering berubah menjadi ego yang melukai orang-orang di sekitarnya.
Konflik utama muncul ketika Hana mendorong band-nya mengikuti lomba musik di Jakarta. Teman-temannya ragu karena belum percaya diri dan sebenarnya mereka membantuk band hanya untuk mengisi waktu luang juga sekedar hiburan semata, tetapi Hana meremehkan keberatan mereka. Ia bahkan mempersembahkan lagu yang sebenarnya berasal dari draft mendiang ibunya, padahal Hana mengaku bahwa lagu itu adalah ciptaannya sendiri. Saat latihan, ia selalu marah ketika anggota band berbuat kesalahan, hingga sikapnya menjadi kasar dan menggurui. Ketegangan memuncak ketika mereka mengetahui lomba itu sejatinya ditujukan untuk penyanyi solo, bukan band. Mereka merasa diperalat sebagai batu loncatan bagi Hana. Pertengkaran tak terelakkan. Ada pula scene Hana keluar studio di tengah keributan untuk merokok. Saat sedang merokok, pikiran Hana secara otomatis membayangkan dirinya sedang berada di ruang terbuka, jauh dari hiruk pikuk kehidupan. Di dalam renungan dia membayangkan sedang didekap oleh bundanya, mereka juga bernyanyi Bersama. Adegan maladaptive daydreaming di sela asap rokok ini juga memperlihatkan luka batin yang belum pulih.
Meski disebut-sebut terinspirasi dari refleksi pribadi sutradara tentang Narcissistic Personality Disorder (NPD), film tidak mengeksplorasi hal itu secara eksplisit. Yang tampak di layar adalah sosok Hana yang berduka dan tersesat, bukan potret mendetail tentang gangguan kepribadian. Ledakan emosinya—termasuk adegan ketika ia meluapkan kemarahan pada ayahnya dengan kalimat, “Lagian kenapa sih, Yah, harus Bunda yang pergi, bukan Ayah aja!?”—lebih terasa sebagai kombinasi kehilangan dan tekanan ambisi ketimbang gejala narsistik yang utuh.
Dalam literatur psikologi, NPD adalah gangguan kepribadian yang kompleks. Penderitanya biasanya memiliki kebutuhan besar untuk dikagumi, sulit menerima kritik, dan kadang mengeksploitasi hubungan dengan orang lain. Namun di balik kesan superior, sering tersembunyi harga diri yang rapuh serta luka lama yang belum terselesaikan. Dalam fiksi, menampilkan karakter dengan NPD membutuhkan konsistensi perilaku: bagaimana mereka menyeimbangkan rasa ingin diakui dengan kerentanan batin. Di Star Fall in Me, Hana memang menunjukkan perilaku yang bisa dibaca sebagai narsistik seperti meremehkan orang lain, ingin menjadi pusat perhatian, bahkan berbohong demi reputasinya, tetapi film tidak memberi cukup landasan psikologis agar sifat itu terbaca sebagai NPD yang matang. Ia lebih meyakinkan sebagai remaja yang tengah berkabung, terjebak antara ambisi dan duka.
Keputusan Hana untuk hampir kabur ke Jakarta setelah bertengkar dengan ayahnya pun lebih terlihat sebagai kepanikan ketimbang tanda gangguan kepribadian. Jika dimaksudkan sebagai ciri NPD, film kurang memberi pijakan naratif yang mendukung. Namun bila dibaca sebagai luapan emosi karena kehilangan, tindakannya terasa masuk akal, meskipun eksekusinya bisa lebih subtil agar tidak jatuh ke melodrama. Adegan kecil di mobil, ketika sopir yang curhat tentang perjuangannya sebagai ayah, menjadi momen pemantik empati yang akhirnya membuat Hana memutuskan pulang. Hal itu juga bertolak belakang dengan fakta bahwa orang-orang dengan Gangguan Kepribadian Narsistik (NPD) umumnya memiliki empati rendah, yang berarti mereka cenderung tidak dapat memahami atau peduli terhadap perasaan orang lain. Kurangnya empati ini merupakan salah satu ciri utama NPD yang ditandai dengan kurangnya pemahaman terhadap perspektif orang lain dan cenderung melakukan tindakan yang menyakitkan tanpa menyadari dampaknya. Orang dengan NPD kerap memiliki empati yang rendah untuk perlindungan diri karena enggan menunjukan kelemahan, mereka juga memiliki keterbatasan empati kognitif dan terlalu fokus pada diri sendiri.
Puncak emosional film hadir di adegan penutup: Hana yang membatalkan rencana kabur ke Jakarta, berdiri di ambang pintu, menangis mendengar ayahnya menyanyikan lagu peninggalan ibunya. Tanpa perlu dialog panjang, penonton memahami bahwa Hana maupun Ayah sebenarnya sama-sama memanggul duka yang sama beratnya, meski dengan cara berbeda. Lagu itu bukan sekadar kenangan, melainkan jembatan antara kehilangan dan harapan baru.
Sebagai karya mahasiswa, Star Fall in Me punya keberanian yang patut diapresiasi. Ia menyuguhkan drama keluarga dan pertemanan dengan sentuhan musikal, serta memperlihatkan kesungguhan kru dalam memproduksi sesuatu yang melampaui sekadar tugas kelas. Namun, untuk membawa potret Hana ke tingkat yang lebih kompleks dan kisah yang lebih tajam, misalnya benar-benar sebagai studi karakter tentang NPD, naskah perlu memperlihatkan pola psikologis yang lebih konsisten, sutradara perlu memilih fokus: apakah ingin mendalami potret seorang remaja dengan NPD, atau menghadirkan drama duka yang realistis. Saat ini, film lebih berhasil sebagai kisah tentang kehilangan, ambisi, dan rekonsiliasi yang hangat. Dan untuk film pendek mahasiswa dengan durasi hampir 40 menit, keberhasilan itu sendiri sudah merupakan pencapaian yang layak dirayakan.
Penulis : Yasmin Mariela Lunggita Prinanto